Detektik CIPO 1: rahasia hujan darah




2. Rahasia Hujan Darah

Di Dusun Gowot, sekitar 17 kilometer dari desa Cipo,  ada rumah aneh. Cipo dan teman-temannya sudah beberapa kali lewat dusun itu saat bersepeda. Memang jauh, tapi kalau mereka sedang senang bersepeda maka jarak berapa pun ditempuh, apalagi kalau sedang liburan. Tentu saja dengan membawa bekal makanan dan minuman yang cukup. Cipo dan teman-temannya heran dengan rumah yang menyendiri di tengah sawah, di halaman  rumah itu banyak tanaman buah yang dibiarkan liar. Bangunan rumahnya terbuat dari batu-bata yang tidak disemen. Lantainya tanah, lebih tinggi dari tanah sekitarnya sehingga kalau turun hujan maka genangan air tidak masuk ke dalam rumah. Mereka juga melihat banyak kucing di pekarangan.
Empunya rumah seorang nenek, gemuk dengan badan bungkuk, rambutnya sudah putih semua. Berjalan dengan tongkat dan selalu telanjang kaki. Bahkan Cipo sempat memergoki anak-anak mengintip nenek itu dengan wajah ketakutan. “Nek Boci! Nek Boci tukang sihir!” teriak anak-anak. Setelah itu mereka berlari bersembunyi, menunggu reaksi perempuan tua itu. Nenek itu hanya menoleh, tapi wajahnya dingin. Mungkin itu pula yang membuat anak-anak ketakutan. Jalu dan Endol malah menyebut Nek Boci sebagai Nek Lampir. Cipo pernah menanyakan keberadaan nenek di rumah aneh itu kepada pemilik warung di dusun itu. Kata pemilik warung Nek Boci tinggal seorang diri, tidak ada orang lain di rumah itu. Tentu saja Cipo dan teman-teman semakin terheran-heran, sementara orang lain dengan usia yang sama akan dikerumuni anak dan cucunya.
“Apakah Nek Boci tidak memiliki keluarga?” tanya Cipo.
“Anak-anak Nek Cipo berada di kota. Sementara Nek Boci enggan tinggal di kota. Dia hanya tinggal bersama kucing-kucingnya,” kata pemilik warung. “Kalian jangan dekat-dekat dengan dia.”
Cipo mengerutkan dahi, “Ada apa dengannya?”
“Kalian bisa diculiknya,” jawab pemilik warung.
“Memangnya pernah ada yang diculik?” tanya Jalu. Pemilik warung memelototkan mata, tidak menjawab.
Suatu hari Cipo mendengar dusun tempat tinggal Nek Boci terjadi hujan darah.  Tentu saja itu berita unik dan aneh.  Cipo segera bergegas mendatangi dusun itu untuk mendapatkan kebenarannya. Apakah kejadian itu benar atau hanya berita bohong belaka, karena sering ada berita-berita bohong yang dihembuskan oleh orang yang tidak bertanggung jawab. Ternyata kejadian hujan darah itu betul.
Begitu Cipo sampai di Dusun Gowot semua orang membicarakan kejadian itu. Malah dusun itu menjadi begitu ramai oleh orang-orang luar dusun yang hendak mengetahui kejadian langka tersebut. Hujan darah itu membuat warganya panik. “Sampai setua ini baru sekali ini melihat hujan darah,” ujar seorang kakek yang sudah sangat renta. Entahlah berapa jumlah giginya yang masih tersisa.
“Pasti ini perbuatan orang berilmu hitam,” sahut tetangganya.
“Dukun santet itu hendak membunuh kita semua,” kata yang lainnya.
Tapi mengapa warga berduyun-duyun mendatangi rumah Nek Boci? Cipo mendengar bisik-bisik, bahwa Nek Bocilah yang menjadi biang kerok terjadinya hujan darah itu. Nek Boci dituduh menggunakan ilmu hitamnya untuk mencelakai warga, karena sebelumnya ada warga yang tidak sengaja melindas kucing kesayangannya.  “Nek Boci ingin balas dendam,” bisik seseorang.
Tapi warga tidak ada yang berani masuk ke rumah Nek Boci, mungkin takut. Tentu saja itu merupakan sebuah keberuntungan bagi Nek Boci. Karena tidak lama kemudian datang rombongan polisi yang segera menyelamatkannya. Nek Boci terlihat menangis dan gemetar. Polisi terpaksa menjadi perisai hidup dari timpukan-timpukan batu yang diarahkan kepada Nek Boci. 
Kegemparan hujan darah dan Nek Boci yang digelandang ke kantor polisi menjadi berita yang cepat menyebar. Beberapa warga ada yang bersikukuh mengambil Nek Boci dari kantor polisi, untuk membuat perhitungan. Ya Allah, apa daya seorang nenek melawan mereka yang rata-rata masih muda? Mengapa mereka hendak bermain hakim sendiri, dengan tuduhan yang tidak berdasar dan tanpa bukti? “Singkirkan tukang santet itu!” teriakan orang-orang di luar kantor polisi.
“Singkirkan Nek Boci dari wilayah kita!”
“Ganyang tukang sihir!” Polisi terpaksa melepaskan beberapa kali tembakan untuk mengusir warga yang menjadi beringas. Mendengar suara tembakan warga yang hendak mengambil paksa Nek Boci mundur. Tapi aparat harus lebih waspada, siapa tahu mereka akan datang lagi dengan taktik berbeda. Cipo mengabadikan peristiwa itu dengan kameranya.
“Kasihan Nek Boci,” kata Cipo dalam hati.
Berita hujan darah dan isu dukun santet semakin tersebar luas. Aparat pun harus bertindak cepat untuk meredakan amuk massa. Pejabat kelurahan dan kecamatan memberi keterangan yang bermacam-macam soal peristiwa itu sehingga yang berkembang adalah cerita misteri. Bahkan ada yang mengatakan itu adalah kutukan sehingga warga dusun harus menyingkir ke tempat lain. “Jangan terpancing oleh omongan-omongan yang tidak benar!” seru Pak Camat menenangkan warga Dusun Gowot yang kebingungan. Toh, warga belum ada yang mengungsi ke tempat lain.
Untuk mendapatkan kejelasan tentang hujan darah itu, Cipo mendatangi Dusun Gowot lagi. Dia menanyakan kejadian hujan darah itu kepada orang yang mengalami langsung. Dia mesti hati-hati menyaring berita karena sudah banyak yang memberinya bumbu-bumbu yang berhubungan dengan dunia gaib. Tapi sempat juga Cipo ikut bergidik. “Apakah benar itu hujan darah, Pak?” tanya Cipo kepada Pak Nono. Dia mendapatkan nama itu setelah bertanya ke sana kemari. Pak Nono memang salah satu warga yang berada di luar rumah ketika hujan darah itu terjadi.
“Benar darah,” jawab Pak Nono.
“Mengapa bapak yakin itu darah?”
“Karena warnanya merah, pekat, dan amis.”
“Yakin itu darah?”
“Sangkamu aku ini bohong? Bila tidak percaya kepadaku ya sudah, tidak usah bertanya kepadaku!” Pak Nono malah meradang.
“Percaya! Percaya Pak!” kata Cipo cepat agar mendapatkan cerita sebanyak-banyaknya. “Kira-kira jam berapa hujan darah itu, pak?”
“Malam, sekitar jam sebelas malam.”
“Kalau begitu bapak saat itu sedang ada di dalam rumah?”
“Tidak, justru aku sedang berada di luar rumah. Aku sedang membetulkan kandang kambing yang diseruduk kambing jantan yang baru aku beli,” jawab orang itu.
“Apakah hujan itu sempat mengenia badan?”
“Ya, malah aku sempat menciumnya. Kusangka air sirop, wah kalau hujan air sirop enak, kami tinggal menyiapkan es batu saja,” kata Pak Nono bercanda. “Kurasa memang dusun ini menjadi sasaran orang iri. Memang belum lama dusun kami mendapat piala sebagai dusun teladan tingkat kabupaten. Mungkin ada dusun lain yang iri sehingga mengirimkan teror kepada kami.”
“Jadi bukan karena Nek Boci?” tanya Cipo memancing.
Orang itu kaget. “O, tidak menutup kemungkinan itu ulah Nek Boci. Karena dia orang aneh.” Cipo menyudahi wawancara itu. Kepada kepala dusun Cipo menanyakan  aparat mana saja yang telah datang untuk  meneliti hujan darah itu.
“Orang-orang Puskesmas telah datang, mereka mencari contoh darah itu. Malah karena tidak menemukan lagi darah yang berada di permukaan tanah, mereka naik ke atap rumahku untuk mencari contoh darah itu.”
“Apakah hujan darah itu sampai membuat darah itu mengalir di talang, sehingga darah itu bercucuran ke pelimbahan?” tanya Cipo.
“O tidak, hujan darah itu hanya sesaat saja, tidak seperti hujan biasa yang bisa membuat basah semuanya.”
“Terima kasih Pak,” kata Cipo. Dia juga mendapatkan data lain. Ternyata hujan darah itu tidak mengguyur seluruh dusun, hanya sebagian saja. Cipo lalu pergi ke Puskesmas yang bersangkutan,  menemui petugas dan menanyakan perihal hujan darah yang menghebohkan itu.
“Kami sudah menyelidikinya, memang darah tetapi bukan darah manusia,” jawab petugas Puskesmas. “Mungkinkah darah itu terjatuh dari kapal terbang?” Terjatuh dari kapal terbang? Kejadian benda yang terjatuh dari kapal terbang pernah tercatat, karena kancing lubang pembuangan toilet kapal terbang itu terlepas sehingga kotoran isi toilet tumpah keluar. Kotoran yang jatuh itu, karena gesekan dengan udara, menjadi kering dan beku lalu menimpa rumah penduduk. Akhirnya pihak maskapai penerbangan memberi ganti rugi dan minta maaf. Mungkinkah kejadian hujan darah di dusun Nek Boci seperti itu?  Bisa jadi itu akibat kapal terbang yang saat itu melintas di atas dusun itu. Tapi, saat itu tidak ada penduduk yang melihat kapal terbang yang melintas. Dusun itu memang tidak dilewati jalur penerbangan! Apalagi ketika ada yang menanyakan kepada pihak lapangan udara terdekat, saat itu tidak ada kapal terbang yang melintasi wilayah itu.
“Jangan-jangan ada peluru kendali yang berisi darah,” gumam Jalu ngawur, berandai-andai.
Endol menambahi, “Ya peluru kendali berisi darah.”
“Uh, kalian hanya ngawur saja,” sanggah Cipo.   
Untuk meyakinkan warga dusunnya, Nek Boci bersumpah mengatasnamakan Tuhan, bahwa dia bukan dukun santet ataupun yang membuat hujan darah. Tapi warga tidak mempercayainya. Cipo begitu prihatin melihat nasib Nek Boci. Kata polisi, mereka belum berhasil menghubungi keluarga Nek Boci, karena anak-anaknya bekerja sebagai pemulung dan bukanlah pekerjaan mudah mencari mereka. Cipo menyempatkan diri melihat rumah Nek Boci yang sudah dikelilingi garis polisi. Dilihatnya kucing-kucing Nek Boci jadi terlantar, mungkin segera menjadi kucing liar.
Ketika hujan darah itu ditanyakan kepada Pak Bonet, seorang guru biologi, Cipo hanya mendapat jawaban yang masih meragukan. “Mungkin kalong yang tertembak tapi masih sempat menyelamatkan diri, sehingga darahnya berceceran.” Tapi, mengapa bisa seluas itu cakupan ceceran darahnya?   Teka-teki hujan darah tetap menjadi misteri. Pada suatu hari, ketika melihat siaran di televisi ada berita aneh,  telah terjadi hujan ikan di salah satu pulau di Nusa Tenggara. Menyikapi hujan ikan itu ada tetangganya yang berkomentar, “ Wah, hujan di sana baik sekali!”
“Kok baik sekali?”
“Mereka mendapat ikan, bukan darah!”
“Hus, santet itu bermacam-macam bentuknya. Bila mereka memakan ikan itu bisa saja perut mereka kembung dan meletus.” Mungkin di tempat hujan ikan itu juga timbul kepanikan, layaknya dusun Nek Boci.
Sudah sebulan tapi jawaban-jawaban atas misteri hujan darah itu juga belum juga memuaskan hatinya. Sedangkan Nek Boci masih berada di kantor polisi, karena tidak mau pulang ke rumahnya, takut akan amuk warga. Apalagi rumahnya telah mengalami kerusakan oleh ulah warga yang tidak puas atas pengamanan Nek Boci. Begitu pula ketika salah satu anak Nek Boci datang, tidak bersedia datang ke rumah itu karena warga tetap menuduh Nek Boci sebagai tukang guna-guna. Akhirnya Nek Boci dibawa anaknya ke Jakarta. Nek
Cipo bersama teman-temannya sedang berada di lapangan, mereka bermain layang-layang. Mereka harus berlari ke sana kemari karena tidak ada angin yang bisa mengangkat layang-layang mereka. Jalu menyanyikan lagu pengundang angin yang biasa dinyanyikan para gembala. “….pe kecempe barato sing gede tak upahi sego tape, yen kurang njupuko dhewe!”
Mungkin karena kebetulan, ada angin, tapi angin itu hanya kecil saja. Angin pusaran kecil di lapangan tempat mereka bermain. “Wow ada lesus!” seru Ndul-ndul. Lesus adalah angin berputar dan tidak begitu besar. Sering terjadi saat musim kemarau, di lapangan, sawah, atau tempat lapang lainnya. Tinggi angin pusaran itu hanya beberapa meter dengan arah berputar-putar. Jalu menaruh layang-layangnya di pusaran angin itu. Demikian juga Ndul-ndul, mengambil daun-daun kering lalu berlari mengejar lesus itu dan menaruh daun-daunnya. Layang-layang Jalu dan daun-daun kering itu terbawa arus angin dan terbang berputar-putar, topan mini itu hanya berlangsung hitungan menit, setelah itu reda. Daun-daun kering Ndul-ndul dan layang-layang Jalu yang sudah tak ditopang angin luruh ke tanah.
Melihat kejadian itu Cipo tercekat, dia berpikir jangan-jangan hujan darah di dusun Nek Boci diakibatkan oleh angin topan! Sejak melihat tayangan  hujan ikan itu Cipo sempat berpikir kalau kalau hujan darah itu bukan suatu hal yang gaib,  tapi disebabkan oleh peristiawa alam. Tampaknya angin lesus itu membuka otaknya. 
Cipo segera pulang ke rumah menemui ibunya. “Kapan Ayah pulang, Bunda?”
“Mungkin minggu depan, bukankah sekarang Ayah sedang meliput di Aceh?” kata ibunya. “Ada apa, apa ada yang akan kamu tanyakan pada Ayah?”
“Hanya soal hujan darah di dusun Nek Boci,” jawab Cipo. Selama ini dia selalu diskusi dengan ayahnya, menanyakan hal-hal yang dia belum maklum. Baginya, ayahnya sosok yang dianggapnya serba mengerti. Paling tidak bisa membantu memberinya jalan untuk memecahkan masalah. Apakah dia akan menelepon ayahnya? Tampaknya tidak dilakukannya.
“Kamu masih memikirkan hujan darah itu rupanya. Alam memang sering bertingkah aneh. Kalau kita belum bisa menemukan jawabannya sering dibuat penasaran.”
“Bunda percaya itu ulah Nek Boci?”
“Tidak. Kasihan Nek Boci, dia menjadi korban fitnah.”
“Apakah Bunda punya perkiraan tentang terjadinya hujan darah itu?”
“Tidak juga,” jawab ibunya.
Cipo manggut-manggut, kecewa dengan jawaban ibunya. “Hm…, tapi apakah Bunda tahu, siapa yang tahu tentang angin topan?”
“Maksudmu orang yang melihat angin topan?”
“Maksud Cipo bukan itu, Bunda. Tapi orang yang ahli tentang angin topan,” kata Cipo.
Ibunya tertawa. “Kalau itu yang kamu maksud, Ibu tahu. Kamu harus bertanya kepada lembaga yang berurusan dengan cuaca.”
“Badan Meteorologi dan Geofisika, yang meramal cuaca di televisi itu?”
“Betul,” jawab ibunya.
“Tapi di mana alamat kantornya, ya,” sungut Cipo. Ada akal, dia mencari di Google tentang Badan Meteorologi dan Geofisika. Cipo beruntung karena  langsung mendapat alamat lengkap beserta nomor teleponnya. Cipo segera menghubunginya, dan seorang ibu yang menerima. Cipo menanyakan apakah pada malam kejadian hujan darah itu ada badai yang melintasi Pulau Jawa. Didapat jawaban bahwa saat itu tidak ada badai yang melintasi Pulau Jawa. Tapi beberapa waktu sebelumnya memang ada badai dari samudera Pasifik.
“Ibu yakin saat itu tak ada badai yang mencapai Pulau Jawa?” tanya Cipo.
“Oke saya ceknya lagi, tunggu sebentar ya,” kata suara dari telepon. Tak berapa lama ada suara. “Hallo. Memang saat itu tercatat ada beberapa badai pada malam hari,” jawab ibu itu. “Eh, kamu anak kecil kok tertarik menanyakan tentang badai?”
“Apakah tidak boleh, Bu?”
“Justru saya senang ada anak yang menanyakan seperti ini. O, apakah kamu bisa berinternet? Bila bisa, maka kita bisa  chating sehingga lebih jelas.”
“Terima kasih, nama ibu siapa?”
“Ibu Anis.”
“Kalau begitu saya boleh minta alamat e-mail dan websitenya, Bu.”
“Dengan senang hati,” jawab Ibu Anis. Percakapan lewat telepon sampai di situ saja, karena akan diteruskan dengan percakapan di internet. Cipo senang sekali, tampaknya teka-teki hujan darah akan segera terpecahkan. Cipo sempat menghubungi Puskesmas yang meneliti darah yang diambil dari tempat hujan darah. Dia mendapat keterangan bahwa darah itu ternyata darah ikan, dari jenis hiu. Bila ikan hiu saja terangkat betapa kuat badai yang terjadi saat itu.
Cipo segera pergi ke warnet terdekat dekat kantor kecamatan, mengajak Jalu. Tapi Jalu hanya bermain games saja. Cipo mengklik alamat yang diberikan Ibu Anis. Ternyata Ibu Anis sudah siap. “Apakah Ibu pernah tahu ada hujan darah? Menuriut Bu Anis, mengapa bisa terjadi hujan darah?”
“Itu hanya salah satu akibat adri kejadian alam. Tampaknya yang kamu tanyakan lewat telepon berhubungan dengan hujan darah. Apakah kamu tinggal tidak jauh dari Dusun Gowot?”
“Ya, kejadian itu menimpa dusun itu.”
“Itu bukan hal yang aneh, teorinya bisa dijelaskan dengan terjadinya badai atau topan.”
“Bisa Bu Anis jelaskan pada saya?”
“Tentu! Kuharap kamu nanti jadi ahli cuaca.” Cipo tertawa. Muncul tulisan panjang di layar monitor:  Di banding waktu lampau topan saat ini lebih banyak, ini ada kaitannya dengan pemanasan global. Pembakaran bahan bakar dari kendaraan dan pabrik menghasilkan karbon dioksida yang menyelimuti bumi, sehingga mengakibatkan peningkatan suhu. Topan menyerap sebagian besar  hawa panas yang disebabkan oleh pemanasan global itu. Lebih dari 100 badai tropis terjadi setiap tahunnya, dan hanya sedikit saja dari badai-badai  itu yang berubah menjadi topan besar. Paling hanya dua sampai tiga badai saja yang menjadi topan besar.
Bagaimana topan terbentuk? Suhu permukaan air laut sedikitnya 27 derajat Celcius dengan kedalaman 60 m. Lalu angin bertemu dekat permukaan laut. Udara naik dan terjadilah aliran udara yang menimbulkan angin. Uap air  udara yang naik mencair sambil melepaskan hawa panas. Hawa panas menghangatkan udara di sekitarnya, sehingga udara menjadi ringan dan naik. Angin yang terbentuk pada semua ketinggian harus mempunyai kecepatan dan arah yang sama. Lalu daerah bertekanan  tinggi di atmosfer mendorong udara yang naik menjadi badai.
Cipo segera mengetik: “Lalu bagaimana hubungan hujan darah dan badai, Bu?”
Muncul jawaban: “Logikanya begini. Saat terjadi badai di laut, badai itu juga membentuk pusaran di dalam air yang kedalamannya bisa mencapai 60 meter! Pusaran air itu layaknya mengaduk-aduk isi laut. Sehingga bila di sekitar pusaran itu ada benda, dalam hal ini ikan, maka ikan itu tersedot ke dalam pusaran dan terangkat naik. Kemungkinan besar, kalau darah berasal dari ikan maka ikan itu sudah tercabik-cabik begitu terperangkap arus pusaran.
Cipo mengetik: “Ternyata darah ikan hiu, Bu.
Muncul jawaban: “Hiu itu sudah tercabik-cabik sebelum berada di ketinggian sehingga tubuhnya menjadi kepingan-kepingan. Darahnya pun ikut terbawa arus badai atau topan. Layaknya abu gunung meletus yang bisa menjangkau tempat jauh karena bantuan angin. Demikian juga teori masuk akalnya hujan darah di dusun itu. Apakah di dekatmu ada peta?”
Cipo mengetik jawaban: “Tidak, Bu.
Bu Anis menjawab: “Ya sudah tak apa-apa. Bila hujan darah itu terjadi pada jam sebelas malam, maka kita tinggal memperkirakan kecepatan badai itu. Karena kecepatan badai atau topan bermacam-macam. Mungkin badai itu masih terasa kencang tetapi semakin masuk ke daratan semakin berkurang kekuatannya.  Sementara benda-benda yang dibawa topan, yang sudah berada di ketinggian,  akan jatuh ke tempat lain.
Pada September tahun 2005, terjadi topan besar melanda Amerika Serikat,  yaitu topan Katrina dan Rita. Semua itu terjadi karena iklim telah berubah. Topan terbentuk karena akibat gejolak di atas laut. Dan semua itu disebabkan karena pemanasan global yang menciptakan topan yang lebih hebat daripada yang ada sebelumnya. Sehingga penduduk bumi harus mengontrol pertumbuhan dan perkembangan gas buangan penyebab pemanasan global. Setelah topan Katrina dan Rita akan muncul pula topan Stan di Samudra Atlantik. Para ahli memang telah sepakat memberi nama topan sebelum topan itu sendiri muncul, berdasarkan sistem internasional yang diatur oleh organisasi Meteorologi Dunia. Nama-nama topan sudah diketahui bahkan sebelum diketahui kapan terjadi. Untuk wilayah Atlantik, Karibia, dan Teluk Meksiko nama-nama topan sepanjang tahun 2005 sudah disusun berdasarkan abjad. Mulai dari Arlene hingga Wilma, di tengahnya ada topan Katrina, topan Lee, Maria, Nate, Ophleia, Philippe, Rita, Stan, serta Tammy.
Pada saat puncak-puncaknya topan, tidak ada kapal yang bisa berlayar dengan aman. Bahkan kehidupan di laut  seperti tumbuhan dan ikan mati lemas karena tidak bisa bernapas dan terhempas ke sana kemari. Yang lebih ditakuti adalah bila topan itu berubah menjadi tornado. Tornado mempunyai kekuatan untuk mencabut fondasi bangunan yang paling kokoh dan memelintir hingga luluh lantak benda apa pun yang terjebak di pusaran angin.
Cipo mengetik: “Ibu pernah melihat angin lesus di lapangan? Apakah seperti itu kira-kira gambaran sederhana badai atau topan?”
Muncul jawaban: “Tepat sekali. Memang badai atau topan tidak melulu terjadi di laut. Bisa saja di daratan. Kamu pernah mendengar nama “Cleret Tahun” itulah nama topan yang sering muncul di daratan. Badai dan topan bila sempat singgah di daerah pemukiman mengakibatkan kerugian yang sangat besar.
Cipo ingin menyudahi chating itu: “Terima kasih banyak, Bu.
Muncul tulisan: “Oke, belajar yang rajin, ya!”
Keluar dari warnet wajah Cipo sudah sangat cerah. Terjawab sudah teka-teki hujan darah di dusun Nek Boci. Menurutnya teori angin topan itulah alasan ini yang paling masuk akal bila dibanding lainnya. Cipo segera mendatangi rumah dinas Pak Camat yang membawahi Dusun Gowot, mengutarakan percakapannya dengan Bu Anis. “Mungkin Pak Camat bisa meyakinkan warga kalau hujan darah bukanlah ulah Nek Boci! Kita harus menjelaskan warga asal usul hujan darah itu agar mereka juga tidak berpikir macam-macam!”  Pak Dirman, sang camat, menyetujui usul Cipo. Dia segera menghubungi kantor meteorologi agar mengirimkan orang untuk menjelaskan teka-teki hujan darah di Dusun Gowot. Permintaan itu bersambut baik, sebab kalau dibiarkan maka isu dukun santet tidak akan pernah reda.
Akhirnya beberapa ahli cuaca datang dan melakukan penyuluhan di balai desa dan sekolah-sekolahan, tentang asal usul terjadinya hujan darah. Mereka menjelaskan bahwa hujan darah bukanlah sesuatu yang di luar akal manusia, tetapi karena kiriman badai. “Bahkan pernah ada juga manusia yang terbang terbawa badai, meskipun dia hanya terbang sejauh beberapa meter. Tapi dia mengalami cidera di beberapa bagian tubuhnya!” terang salah satu ahli cuaca yang datang. Mereka menerangkan dengan menggunakan gambar, juga diperlihatkan film tentang terjadinya badai.
Setelah penyuluhan selesai warga Dusun Gowot berkumpul. “Kalau begitu kami telah semena-meba terhadap Nek Boci,” kata Pak Nono.
“Betul, kita telah berdosa karena menuduh orang yang tidak bersalah!” seru yang lainnya.  Yang lain termenung, mengakui kalau bersalah.
“Terus bagaimana?”
Akhirnya warga dusun itu bersepakat mengirim beberapa orang ke Jakarta untuk minta maaf dan meminta Nek Boci pulang ke dusun. Pada suatu hari Cipo dihubungi Pak Camat kalau Nek Boci pulang, dan warga dusun siap menyambutnya. Pada hari kedatangan Nek Boci, Cipo datang ke dusun itu. Ketika Nek Boci datang warga menyambutnya. “Kami minta maaf, Nek,” kata orang-orang sambil menyalami tangan Nek Boci, bahkan banyak yang mencium tangannya.
“Rumah Nek Boci yang rusak sudah kami perbaiki. Juga kucing-kucing Nek Boci masih utuh, kami ikut merawatnya,” kata kepala dusun.
Nek Boci terharu, menitikkan air mata. Cipo melihat anak-anak yang dulu memanggil-manggil Nek Boci sebagai tukang sihir ikut berebut menyalami Nek Boci. Hujan darah telah menyusahkan Nek Boci, tapi hujan darah pula yang membuat Nek Boci kini tidak lagi dicurigai warga.
Cipo menulis tentang hujan darah itu untuk majalah Kriminol.  Tapi Pak Soku sang pemimpin redaksi segera berkomentar, ”Ini bukan berita kriminal.”
“Bukan berita kriminal apa? Bukankah penduduk sudah mengancam seorang nenek dengan tuduhan tukang santet,” balas Cipo. Tapi setelah majalah itu terbit tak ada tulisannya, Cipo sedikit kecewa. Toh itu tak penting baginya. Baginya melihat kebahagian Nek Boci itu sudah cukup. (*) 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar