Misteri Hantu
Cubit
Lonceng tanda pulang sekolah berbunyi, anak-anak segera berhamburan
keluar kelas untuk pulang ke rumah. Kalau perut sudah keroncongan siapa yang
bisa sabar. Demikian juga dengan Cipo, Jalu, dan Ndul-Ndul. Mereka bergegas untuk
segera sampai ke rumah. Sudah terbayang nasi putih, sayur lodeh, sambal terasi,
tempe goreng, atau ikan asin. Menu sederhana, tapi bagi perut lapar itu sudah
jadi santapan nikmat. Sekolah mereka memang berada di lain dusun, yang harus
melewati sawah, kuburan, sawah lagi, dan baru sampai ke dusunnya. Tapi tiga
anak itu tidak pernah merasa takut ketika melintas kuburan.
“Hai!” sapa seorang anak laki-laki yang berdiri di bawah pohon
jamblang dekat makam. Usianya tak berbeda jauh dari Cipo dan Jalu, mungkin juga baru
duduk di kelas lima. Anak itu sedang makan buah jamblang sehingga bibirnya
berwarna ungu, lucu sekali seperti
badut. “Apakah kalian ingin makan buah jamblang juga?” tanya anak itu. Cipo,
Jalu , dan Ndul-ndul saling berpandangan karena belum mengenal bocah yang
menyapanya itu. “Saya masih punya banyak buah jamblang,” kata bocah itu lagi,
dan menunjukkan sekantong plastik penuh
buah jamblang yang hitam-hitam.
“Ah, kapan pohon itu berbuah?” bisik hati Cipo. Dia heran, setahunya
pohon jamblang itu tidak sedang berbuah, berbunga saja belum. Aneh, tapi pohon
itu kini berbuah lebat dan sudah matang-matang. Banyak burung kutilang dan
kecruk yang pesta buahnya.
Anak yang membawa buah jamblang mendekati mereka, “Namaku Yo.
Rumahku tidak jauh dari sini. Rumah baru itu.” Yo menunjuk ke arah rumah baru. Cipo, Jalu, dan
Ndul-ndul heran, sebelumnya tak pernah ada rumah baru di situ. Tapi, kenapa
sekarang ada rumah megah di situ?
Cipo segera mengenalkan namanya pada Yo, “Namaku Cipo, wartawan
cilik dari majalah Kriminol.” Ups, bukan main dinginnya tangan Yo. Demikian juga ketika Jalu dan
Ndul-ndul mengulurkan tangannya, tangan Yo betul-betul dingin layaknya es batu.
“Saya Ndul, lengkapanya Ndul-ndul,” kata Ndul-ndul.
Yo tampaknya tahu kalau mereka heran dengan tangannya yang dingin.
“Sebelum makan buah jamblang saya bermain es batu. Bagaimana kalau kalian main ke rumahku. Kalian
bisa main play station sepuasnya, lho.”
Ndul-ndul terbelalak. “Apa, di rumahmu ada play station? Asyik! Saya
boleh pinjam kan?”
“Saya juga,” sambung Jalu, tak sabar.
“Tapi kami pulang dulu saja, kami sudah lapar,” kata Ndul-ndul yang paling
tidak bisa menahan lapar.
“Makan di rumahku saja,” seru Yo. “Di rumahku banyak makanan.”
Akhirnya, Cipo, Ndul-ndul, an Jalu ke rumah Yo. Saat memasuki regol
rumah asri itu bulu kuduk mereka merinding. Rumah itu besar, rapi, dan ada
taman yang indah. Tapi anehnya sangat sepi. “Apa semua pergi?” tanya Jalu
kepada Yo.
Yo hanya tersenyum, tidak menjawab. Mereka pun masuk ke dalam rumah.
Wow, keren sekali. Mainan yang jarang mereka temukan ada di rumah Yo. Ternyata
Yo anak orang kaya, mungkin juga anak konglomerat. “Kalian bebas bermain di sini!” seru Yo, senang.
Ndul-ndul langsung bermain play station. “Apa saya boleh berenang di
kolam, Yo?” tanya Cipo yang melihat kolam renang di dalam rumah tersebut.
“Silakan, kalian bebas di sini. Saya senang kalian menemaniku,” kata Yo. Cipo lalu
berenang di kolam. Hiiii…bukan main dinginnya air kolam itu. Sementara Jalu
lebih suka bermain bola basket di samping rumah, asyik sekali. Yo menyuguh
teman-teman barunya dengan aneka makanan. Wow, seperti di restoran saja rasanya. Setelah itu mereka
bermain dengan Yo, main petak umpet dan tembak-tembakan. Rumah Yo yang luas
sangat menyenangkan untuk bermain seperti itu. Mereka gembira sekali. Setelah
lelah mereka istirahat dan tidur-tiduran di kamar Yo yang indah dan bersih,
yang berkasur empuk. Akhirnya mereka berempat tertidur pulas.
Cipo yang pertama bangun, bukan main terkejutnya ketika tahu bahwa
mereka tidur di kuburan. Dibangunkannya Jalu dan Ndul-ndul. “Bangun-bangun!”
Ketika bangun Jalu dan Ndul-ndul pun terkejut. “Lho, di mana Yo? Kok
kita ada di kuburan?” Lalu mereka bergegas keluar areal makam dan pulang.
Meskipun begitu mereka tidak menceritakan pengalaman itu kepada siapa pun.
Esok harinya, saat berangkat ke sekolah mereka mampir ke makam.
“Tuh, kemarin kita tidur di kuburan baru itu,” bisik Cipo. Kuburan itu memang masih baru,
anehnya tak ada tanda-tanda seperti makam baru. Tak ada payung, tak ada bunga,
tak ada buah kelapa, atau lainnya, layaknya kalau warga desa menguburkan orang
mati. Juga tak ada nisan yang menandakan itu kuburan siapa. Ternyata warga desa juga tidak ada yang tahu
itu makam siapa, sehingga muncul cerita aneh-aneh tentang kuburan itu. “Jadi Yo
itu hantu?” tanya Cipo.
“Sttt….jangan takut. Dia tidak nakal kok,” kata Jalu. Saat pulang
sekolah mereka sengaja keluar paling akhir,
agar sepi. Lalu mereka sengaja mampir ke makam. Mereka melihat Yo
menangis di bawah pohon jamblang. Anehnya, kini mukanya hitam memar, dan tampak
luka-luka.
“Kenapa, Yo? Apa yang sebenarnya terjadi denganmu?” tanya Cipo.
Dilihatnya leher Yo ada luka bekas tali.
Yo tampak sedih sekali.
“Bersediakah kalian menolongku?”
“Katakanlah,
kami rela menolongmu,” kata Jalu.
“Apakah kalian tahu letak bis surat, tolong masukkan surat ini,” pinta Yo sambil
terisak. “Nanti kalian akan tahu siapa saya sebenarnya.”
Cipo menerima surat yang disodorkan Yo, yang tanpa perangko. Surat
itu dikirim ke Bandung, jauh dari desa itu, malah beda provinsi. “Tapi kami
tidak punya uang untuk beli perangko, Yo.”
Yo menyodorkan uang sepuluh ribu rupiah. “Atau kalian ke kantor pos
saja, kirim kilat khusus saja biar lekas sampai.”
Akhirnya Cipo, Jalu, dan Ndul-ndul memutuskan untuk pergi ke kantor
pos yang tak jauh dari kantor kecamatan. Setelah kejadian itu mereka tak pernah
melihat Yo lagi. Yo tidak pernah muncul
sampai mereka bertanya-tanya, ada apa dengan Yo. Siapa Yo sebenarnya? Setengah bulan kemudian makam itu ramai
sekali. Warga desa, pamong desa, polisi,
dan beberapa orang yang tidak mereka kenal ada di sana. Kuburan baru
yang aneh itu dibongkar. Setelah digali beberapa saat jenazahnya diangkat. Ya,
itu baju yang dipakai Yo! Tapi tubuh Yo sudah rusak. Terdengar jerit histeris
seorang perempuan yang memanggil-manggil nama Yo, lalu pingsan. Tampaknya
mamanya Yo. Setelah siuman perempuan itu menangis sambil memeluk suaminya yang
juga menangis.
Cipo, Jalu, dan Ndul-ndul mendekati suami istri itu. Di tangan
perempuan itu tergenggam amplop surat yang mereka kirim tempo hari. “Bu, kami yang mengirim surat itu. Kami
disuruh Yo,”
kata Cipo.
Kedua orang itu terkejut, “Kalian bertemu Yo? Di mana?” tanya
papanya Yo.
“Di kuburan ini, pak. Malah kami bermain bersama,” jawan Ndul-Ndul.
Orang-orang yang mendengar penuturan anak-anak itu terkejut
mendengar cerita aneh itu. Perempuan itu mengusap air mata lalu bertanya,
“Apakah kalian yang bernama Ndul-ndul, Cipo, dan Jalu? Karena nama-nama itu ditulis Yo di surat ini.” Ditunjukkannya isi surat
itu. Betul, nama mereka tertulis di
surat itu. Orang-orang makin terpana.
Ternyata Yo dibunuh penculik yang minta tebusan. Padahal, orangtua Yo sudah menyerahkan uang yang
diminta para penculik. Dalam surat itu Yo juga menunjukkan letak kuburannya.
Ya, Yo memang sempat minta alamat mereka. Mungkin tengah malam para penculik memakamkan Yo
di kuburan desa yang sangat sepi itu.
Jenazah Yo lalu dibawa ke rumah sakit untuk diotopsi, selanjutnya
dibawa ke Bandung untuk dimakamkan di makam keluarga, bersebelahan dengan kakek
dan nenek yang disayanginya. Tak lama kemudian para penculik Yo tertangkap,
ternyata mereka didalangi paman Yo yang kecanduan narkoba. Selanjutnya penculik
dan paman Yo divonis penjara seumur hidup.
Suat hari ketika Cipo, Jalu , dan Ndul-ndul melewati pohon jamblang ditemukan surat putih
tanpa perangko yang ditujukan kepada mereka. Ternyata dari Yo. Mereka tak sabar membukanya, ternyata ada
tiga lembar kertas. Isinya sama, hanya ditujukan kepada masing-masing anak itu.
“Saya menyampaikan terima kasih kepada kalian, yang telah menemaniku bermain,
juga menolongku sehingga saya kini sudah tenang dan bahagia. Surat ini sengaja
saya buat tiga lembar, agar kalian bisa menyimpannya. Dan yang penting kalian
tidak berebut, karena masing-masing kebagian satu. Kalau kalian tidak ingin
menyimpan surat ini maka tanam saja dibekas makamku.”
Cipo, Jalu, da Ndul-ndul kebingungan. “Bagaimana?” tanya Ndul-ndul
kepada kedua temannya.
“Kita kubur saja,” jawab Cipo dan Jalu serentak. Lalu mereka menanam kertas surat itu
di bekas makam Yo. Lalu mereka berdoa
untuk Yo. Selamat beristirahat dengan tenang, Yo.
“Eh tahu tidak, saat Yo kirim surat kertas bukuku berkurang dua
lembar. Bagian tengah, yang ada gambar kartunnya,” kata Jalu.
“Jangan-jangan duit sepuluhribu itu daun pohon jamblang?” seru Cipo.
“Wah, bagaimana kalau kita nanti dicari-cari pak pos?”
Melihat temannya panik Ndul-Ndul
berkata, “Ah, jangan khawatir. Pak pos kan sudah
melihatnya teliti, kalau tidak, mengapa memberi uang kembalian kepada kita.
Nyatanya kita bisa beli es cendol dari sisa uang Yo!” kata Ndul-ndul. Saat itu
tanah bergetar, dan tiba-tiba ada lubang yang menganga sehingga mereka bertiga
jatuh terperosok.
“Tolong!” teriak Cipo.
“Kamu
mimpi apa?” tanya Bunda, sambil
membangunkan Cipo.
O, ternyata Cipo mimpi. “Saya mimpi tentang hantu bernama Yo. Tapi
mimpi itu tidak seram,” kata Cipo.
Bunda tertawa
sambil membelai rambutnya. “Kamu terlalu memikirkan cerita hantu cubit.”
Memang, akhir-akhir ini di
sekolah muncul cerita tentang hantu cubit. Tentu saja itu membuat ketakutan
anak-anak. Para guru sudah menenangkan dengan mengatakan bahwa hantu cubit bohong
belaka. Tapi anak-anak tidak mudah diyakinkan, apalagi dilingkungan sekitar
mereak cerita hantu cubit sedang gencar-gencarnya. Katanya hantu itu sudah
mengambil korban salah satu siswa, tapi bukan murid di sekolah Cipo. Melainkan
siswa dari SD Inpres yang masih satu desa, hanya beda dusun. Katanya, sepulang sekolah tubuh
anak perempuan itu lebam-lebam layaknya bekas cubitan. Sudah beberapa kali Cipo
dan Jalu memperdebatkan tentang hantu cubit itu. Cipo tidak percaya tapi Jalu
sebaliknya. “Mana ada orang dicubit hantu,” kata Cipo sepulang sekolah.
“Sudah
ada buktinya,”
kata jalu.
“Kamu
terlalu percaya dengan cerita begituan.”
“Dan
kamu sok pintar, tidak percaya hal yang begituan. Mungkin kamu juga tidak percaya Tuhan.”
“Lho-lho
kok terus dihubungkan ke situ,” kata Cipo. “Jadi kamu menyebut saya kafir?”
“Siapa
yang berkata begitu!” sergah Jalu.
Cipo tak
kalah meradang, “Tidak percaya Tuhan berarti kafir, hiyakan?”
Hantu
cubit menjadi perbincangan luas. Tidak hanya di kalangan anak-anak tapi juga di
kalangan orang dewasa. Sejak muncul cerita hantu cubit maka cerita-ceritra
seram lainnya bermunculan. Setiap ada kerumunan orang pasti yang dibahas hantu.
Cerita hantu di mana-mana: di sana hantu, di sini hantu. Nek Imeh
apalagi, cerita seramnya tinggal menunggu pendengar. Tapi semua cerita seramnya
selalu diawali dengan kata konon, karena Nek Imeh sendiri belum pernah melihat
hantu. “Tuyul dan inthuk itu sama saja, hanya yang satu bahasa Indonesia dan
yang satunya bahasa Jawa. Konon, ciri-ciri orang memelihara tuyul itu tangannya
selalu di belakang punggung. Layaknya menggendong anak kecil.”
“Lha,
saya pernah melihat Nek imeh berjalan seperti itu! Apakah Nek Imeh punya
tuyul?” tanya Ndul-ndul.
“Tuyulku
ya kamu itu!”
kata Nek Imeh, sambil memegang kepala Ndul-ndul. “Kepala tuyul itu plonthos seperti kepalamu.” Anak-anak yang melihat
adegan itu tertawa terbahak-bahak. Demikian juga si Ndul-ndul, dia tidak marah
disamakan dengan tuyul.
Pak Kreo
menambahi, “Ada satu ciri lagi. Kalau genting rumahnya dipatahkan marah. Nah, orang
itu pasti juga punya tuyul.”
Cipo
menimpali, “Jadi kalau genting rumah Pak
Kreo kami patahkan tidak akan marah?”
“Wah,
hya jangan,”
jawab Pak Kreo. “Semua orang juga marah kalau gentingnya dipatahkan.”
“Kalau
begitu semua orang memelihara tuyul, dan Pak Kreo yang paling banyak,” kata Ndul-ndul. Pak Kreo tertawa. Sebetulnya
sejak kapan sih hantu cilik yang digambarkan selalu berpenampilan gundul itu
dikenal? Menurut para arkeolog,
pengenalan masyarakat Indonesia akan tuyul sudah ada sejak zaman
prasejarah. Misalnya, Prasasti Pucangan
peninggalan kerajaan Kahuripan menyebut hantu dengan kata “hanitu”, makhluk
halus jahat musuh manusia. Jadi kata hantu berasal dari kata “hanitu” yang
dicolong huruf “i”-nya. Namun, untuk istilah tuyul sendiri
sampai saat ini belum pernah ada prasasti yang menyebutkannya. Tapi menurut
arkeolog pula, kata tuyul mungkin berasal dari bahasa Jawa baru. Berasal dari
kata “takhayul” yang berubah menjadi “takhyul” dan akhirnya, demi enaknya lidah Jawa, kata itu berubah
menjadi kata “tuyul”.
“Betulkah
ada hantu cubit, Bunda?” tanya Cipo.
Bunda
tertawa. “Bukankah kita disuruh beriman juga pada yang gaib. Tapi meskipun
begitu janganlah kita melupakan akal,” jawab Bunda. “Apakah kamu sendiri percaya tentang hantu cubit?”
“Katanya, anak yang menjadi korban hantu cubit badannya
lebam karena cubitan,” kata Cipo.
Bunda
hanya tersenyum. “Coba kita tunggu saja, akan ada berita apa lagi yang muncul.”
Diceritakan
pula bahwa hantu cubit muncul dari kuburan baru, bukan ada orang yang baru
meninggal, tapi pindahan dari Jakarta. Memindah kuburan adalah hal yang biasa,
bukan sesuatu yang aneh. Makam anak itu terpaksa dipindah ke desa karena makamnya kena gusur. Bekas makam itu akan
dibuat plaza. Oleh orang-orang dikatakan hantu itu muncul karena merasa
dikucilkan oleh keluarganya, karena orang tua dan saudara-saudaranya tetap
tinggal di Jakarta. Padahal dia dimakamkan bersebelahan dengan kakek dan
neneknya. “Dia tidak suka dengan rumah yang baru,” kata Pak Jlog.
“Rumah baru?”
tanya Nek Imeh.
“Maksudku
kuburan yang sekarang,” terang Pak Jlog. “Biasa jadi hantu di kota lalu dipindah ke desa, mana kerasan!”
Paman
Sodar angkat bicara, “Memangnya kuburan di Jakarta bisa untuk berkaraoke?”
“Ya
begitulah, sehingga hantunya jadi ngambek. Tapi mengapa yang jadi korban anak
orang, dicubiti sampai lebam-lebam kulitnya,” kata Pak Jlog.
Suatu
hari Cipo, Jalu, dan Ndul-ndul sengaja mendatangi makam yang membuat heboh.
Sampai di luar makam mereka melongok-longok dari balik pagar tembok makam. Di dalam makam ada seorang pencari rumput
yang dengan tenangnya merumput, tak terpengaruh rupanya akan cerita hantu
cubit. “Paman, yang manakah kuburan hantu cubit?” tanya Cipo.
“Itu,
gundukan tanah merah!” jawab penyabit rumput. “Kalian jangan lama-lama menatap
kuburan itu! Nanti kalau marah maka kalian akan dicubit seperti anak itu!”
“Masa
dia cepat hafal dengan wajah-wajah kami?” jawab Jalu.
“O, dia
seorang hantu! Hantu tidak seperti kalian yang susah menghafal pelajaran
sekolah!” kata penyabit rumput.
“Tahu
begitu kami tadi mengenakan topeng,” kata Ndul-ndul.
“Eh,
hantu tidak mudah ditipu!” kata penyabit rumput.
“Paman
sudah lama menyabit rumput di sini?” tanya Cipo.
Penyabit
rumput menjawab, “Tiap hari aku cari rumput di sini!”
“Kalau begitu,
sudah berapa kali dicubit hantu itu?” tanya Cipo, pancingannya kena.
Penyabit
rumput untuk sesaat tidak menyadari, tapi begitu tahu kena jebakan Cipo dia
tertawa. “Hantunya takut sama penyabit rumput, habis aku selalu pegang sabit.”
“Ah,
dasar pengibul!” gerutu Ndul-ndul. Mereka bergegas naik sepeda. Penyabit rumput mengacungkan sabitnya tanda
marah. Anak-anak itu tertawa cekikikan. “Masa hantu takut sama sabit, yang
benar saja,”
ujar Ndul-ndul. Perbincangan tentang hantu cubit tidak reda, malah sebaliknya.
“Saya
tiap malam pulang lewat kuburan dan tidak ada apa-apa,” kata Paman Sodar.
Memang pekerjaannya menuntut Paman Sodar melewati kuburan hantu cubit, dia
sering lembur sampai larut malam.
“Hantunya
masih kanak-kanak, Paman. Sehingga tidak berani sama orang dewasa,” kata Piping.
“Kalau
begitu bagaimana kalau kamu ikut saya, nanti malam lewat makam itu. Nah,
sebelum mencubitmu hantu itu sudah aku
tangkap. Bagaimana?” tanya Paman Sodar menggoda anak-anak.
Tapi ada
keganjilan yang ditangkap Cipo, mengapa yang ditemui hanya anak itu saja. Jadi
hantu itu tidak menular, hantu itu tidak tertarik dengan yang lainnya. “Katanya, setiap bertemu hantu itu Melati diajak mampir
ke rumahnya. Karena Melati selalu menolak maka dicubit sampai lebam-lebam biru,” kata seorang pedagang
tempe yang tinggalnya satu dusun dengan si korban. Gara-gara hantu cubit pula
anak-anak penakut selalu minta diantar saat berangkat sekolah, pulangnya minta
dijemput. Tapi jumlah anak penakut setiap hari kian bertambah banyak, jelas itu
menjadi pekerjaan tambahan bagi keluarganya. “Ini tidak boleh dibiarkan,” kata Cipo dalam hati.
Lalu, dia
menelepon kantor polisi. “Halo pak polisi, tolong tangkap hantu cubit itu.”
Britu
Sanusi tertawa mendengar permintaan Cipo. “Kamu pikir polisi itu tim pemburu
hantu? Coba, kamu telepon pemburu hantu yang ada di televisi.”
Cipo
ikut tertawa, “Tapi kalau cerita hantu cubit terus beredar maka kami tidak bisa
belajar dengan tenang. Sering ada siswa yang menjerit ketakutan, meski hanya
melihat cicak jatuh sekalipun.”
“Sudah,
polisi sudah menghubungi kepala sekolah dan gurunya. Memang sampai saat ini
kalau ditanya tentang lebam-lebamnya, Melati selalu menjawab dicubit hantu
kuburan. Tapi
mana mungkin polisi percaya. Kami curiga itu hasil perbuatan calon ibu tirinya,” kata Briptu Sanusi.
“O, jadi
Melati tinggal bersama calon ibu tirinya?” tanya Cipo. Briptu Sanusi
mengiyakan. Mendapat keterangan itu Cipo tertarik untuk melacak Melati. Cipo
mencari rumah Melati secara diam-diam, dan itu mudah. Untungnya lagi, di dekat
rumah Melati ada warung yang menjual pecel dan aneka gorengan, seperti ubi,
singkong, dan pisang. Cipo masuk warung, sambil jajan dia menanyakan perihal
Melati. Ternyata anak itu baru kelas satu. “Manakah anak yang menjadi korban
hantu cubit, Bu?” tanya Cipo.
“Itu
yang duduk menonton temannya bermain karet,” jawab penjual pecel. Cipo memperhatikan anak
yang tampak murung, timbul rasa ibanya. “Beberapa kali dia dicegat hantu cubit
dan tubuhnya jadi lebam-lebam biru. Kemarin
lusa dia dicegat hantu cubit lagi.”
“Apakah
dia menangis saat dicegat hantu cubit?” tanya Cipo.
“Tidak, dia bukan anak yang
cengeng.”
“Lalu, siapa yang bercerita
kalau dia dicegat hantu cubit?” tanya Cipo.
Penjual
pecel memperhatikan Cipo dengan seksama. Tampaknya tak suka dengan pertanyaan
itu. “Yang bercerita ya dia sendiri,
orang yang dicubit juga dia. Tapi yang pertama kali bercerita itu buliknya.”
“Buliknya?”
tanya Cipo. “Tambah lagi pecelnya, Bu. Sambelnya
sedikit saja.”
Itu trik Cipo, pedagang kalau dibeli lumayan banyak akan baik dan ramah.
“Bukan
bulik asli, maksudku dia itu calon ibu tirinya,” jawab perempuan penjual pecel. “Ibu kandungnya
sudah setahun dicerai bapaknya. Sebetulnya ibu kandungnya hendak membawanya
tapi dicegah bapaknya.”
Setelah
pembicaraan dengan penjual pecel itu Cipo menghubungi kantor polisi, dan
menyatakan kecurigaian yang sama. Bahwa cerita hantu cubit hanyalah rekayasa
calon ibu tiri Melati. “Ya, kami sudah mengarah ke tahap penangkapan. Karena si
Melati sendiri berkata kalau lebam-lebam di tubuhnya itu ulah buliknya. Kalau calon istri kedua
bapaknya itu marah Melati menjadi sasaran. Lalu, untuk menutupi kelakuannya dia
mengancam Melati agar bercerita kalau dicegat hantu cubit dari kuburan yang
baru dipindah,” kata Briptu Sanusi.
Beberapa
hari kemudian cerita hantu cubit berubah, jadi berita tentang penangkapan calon
ibu tiri Melati. Sementara Melati kini diambil ibu kandungnya yang berada di
lain kabupaten. “Dasar orang kejam, orang mati kok difitnah,” kata Pak Jlog.
“Maksud Pak Jlog apa?” tanya Paman
Sodar.
“Itu lho calon ibu tiri Melati. Coba, dia telah menyiksa
Melati. Lalu,
dia memfitnah kuburan pindahan sebagai penghasil hantu cubit. Apakah itu bukan
fitnah namanya?” jawab Pak Jlog.
“Hiya,
ya, untung segera ketahuan,” kata Nek Imeh.
Sejak
itu anak-anak yang sangat penakut tidak takut lagi berangkat ke sekolah seorang
diri, karena hantu cubit hanyalah isapan jempol belaka. “Bagaimana, kamu masih
percaya hantu cubit?” tanya Cipo. Jalu hanya meringis. Segera saja Cipo menulis
berita tentang kejahatan ibu tiri yang mengatasnamakan hantu. Mulanya, Pak Soku mentertawakan
warta yang dikirimnya, sampai Cipo menyuruh pimpinan redaksi itu menelepon
kantor polisi. Tapi Pak Soku tak melakukannya, karena pada dasarnya dia sangat
percaya kepada Cipo. Tak mungkin dia mengirm berita palsu. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar